Mungkin, hal ini bukan terjadi pada diriku saja. Malang menjadi tempat kuliah yang suasananya membuat orang betah. Cuacanya yang sejuk membuat orang betah untuk jalan-jalan atau mungkin duduk di pinggir jalan. Kuliner dan tempat wisatanya pun benar benar lengkap. Kalua urusan pendidikan, Malang memang jagonya. Kampus top selevel Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang menjadi incaran anak-anak yang ingin kuliah di kampus negeri berkualitas, Jika ingin kuliah di kampus swasta yang berkualitas, ada kampus IAIN Malang, Universitas Islam Malang , dan Universitas Muhammadiyah Malang.
Ini adalah
kesempatan kedua buat saya untuk tinggal dan hidup di Kota Malang. Tentu ini
adalah sebuah dia yang pernah saya ucapkan di dalam hati sejak lama. Selepas
kuliah Pendidikan Profesi Guru di Universitas Negeri Malang (UM Malang), saya
sempat berdoa untuk kembali dan kuliah di sini lagi. Ternyata, Allah Swt mengabulkan
doa saya waktu itu. Sekarang saya belajar di Universitas Negeri Malang sebagai mahasiswa
program studi pascasarjana pendidikan Bahasa Inggris.
“Hamba betah
di Malang,” mungkin itu salah satu doa saya selama di Kota Malang. Terlepas saya
belum memiliki rumah, kendaraan mobil, dan pekerjaan tetap di Kota Malang, itulah
yang saya ucapkan di dalam hati.
Kota Malang
adalah kota kedua yang saya merasakan kenyamanan untuk tinggal setelah Kabupaten
Jember. Di Jember, ada banyak kenangan yang tertinggal. Ada banyak hal yang
membuat saya betah untuk tinggal di Kabupaten Jember. Mungkin tidak selengkap
Kota Malang, namun saya bisa mendapatkan apa yang saya butuhkan di Kabupaten
Jember. Masakan di Kabupaten Jember pun terasa cocok dengan lidah saya yang berasal
dari desa.
Mungkin yang
aneh bagi saya saat tinggal di Kota Malang adalah masakannya. Hamper semua
masakan terasa manis. Saya harus memesan dengan embel-embel ”Pedes banget” jika
saya ingin masakan yang sedikit nendang di mulut.
Saya sudah hampir
setahun di Kota Malang. Selama semester 1 dan 2, saya tidak sempat berkeliling Kota
Malang. Kehidupan saya hanya kampus dan kos-kosan. Sesekali saya bermain basket
di lapangan basket kampus atau lapangan basket di daerah rampal di hari sabtu. Jika
sudah bosan, saya akan pergi ke Kota Batu di hari Sabtu pagi setelah saya shalat
shubuh. Saya berkendara ke Kota Batu dengan kostum yang sedikit nyeleneh, yaitu
dengan menggunakan sarung.
Di sana,
saya menemukan sebuah tempat warung kopi yang menjual Susu Telur Madu Jahe (STMJ)
dan warung lain yang menjual ketan dengan topping kacang ijo halus. Saya
begitu menikmati makanan dan minuman dari kedua warung tersebut karena letaknya
yang berseberangan dengan Alun Alun Kota Batu. Segelas STMJ sudah cukup membuat
saya kenyang hingga siang atau sore hari.
Bagaimana dengan
harga makanan dan minuman di Kota Malang? Ini lah yang menjadi perdebataan. Bagi
saya yang finansial belum stabil dan terbiasa makanan dengan harga sepuluh
ribu, mungkin masakan dan minuman di Kota Malang sedikit mahal. Namun, bagi
orang Jakarta, harga harga di Kota Malang bak terjun bebas. Mereka bilang kalua
harga makanan dan minuman di Kota Malang ini setengah dari harga di Kota
Jakarta.
Jika ditanya
soal proses studi saya, tentu ini bisa panjang ceritanya. Saya paham betul
bagaimana kerasnya tranformasi dari seorang praktisi menuju seorang akademisi. Sebelumnya,
saya hanya menghabiskan waktu untuk menulis modul Bahasa Inggris singkat dan mengajar
Bahasa Inggris dasar. Kini, saya harus bertempur dengan artikel artikel internasional
dan dunia penelitian. Memang rasanya sulit namun ini jauh lebih menyenangkan
karena setiap kesulitan yang saya lewati seperti mengalahkan diri sendiri. Saya
belajar bahwa saya tidak merasa nyaman saat saya berada di zona nyaman. Mungkin
ini sejalan dengan ucupan salah dosen kepada saya,”kamu akan dewasa ketika kamu
tidak dipuja dan semua harus diurus sendiri.”
Bagi Sebagian
orang, kalimat ini mungkin terasa pedas didengar. Namun, inilah kalimat yang
membuat saya mencintai hidup di dunia rantau. Ada banyak hal yang saya pelajari
saat saya merantau. Tentu yang paling jelas adalah bagaimana runtuhnya ego diri
saya yang merasa selalu merasa besar dan benar. Banyak renungan yang saya pelajari
saat merantau dan saya tulis di buku harian saya. Mungkin, bahasa sederhananya begini,
”Rantau membentuk growth mindset saya.”
Ada banyak
hal yang saya ingin lakukan di Kota Malang. Semoga semua bisa tercapai di tengah
tuntutan saya menyelesaikan tugas akhir dan kewajiban saya sebagai kepala
keluarga.
Rantau benar
– benar mengajarkan kepada saya tentang kekuatan doa saya sebagai seorang
muslim. Saya mencintai Malang dan segala ceritanya. Saya merindukan Jember dengan
segala kenangannya.
Inilah renungan
saya saat menikmati hujan pertama di bulan September di Kota Malang. Baunya begitu
khas dan hawanya begitu pas. Pas untuk merenung maksudnya. Hehehe.
Semangat,
Mas Fen!